Sekolah Rakyat Tak Cukup: Saatnya Optimalkan Sekolah Swasta Berbasis Karakter sebagai Solusi Pendidikan Nasional
- Doddy Hidayat
- 23 Jun
- 3 menit membaca

Di tengah euforia peluncuran Sekolah Rakyat oleh pemerintah sebagai solusi pendidikan bagi keluarga miskin ekstrem, ada satu ironi yang tidak boleh luput dari perhatian: ribuan sekolah swasta dengan sejarah panjang mencerdaskan anak bangsa justru terabaikan, terpinggirkan, bahkan banyak yang nyaris lumpuh karena tidak mampu bertahan menghadapi tantangan ekonomi masyarakat bawah yang kian berat.
Sebut saja Sekolah Islam Said Na’um, salah satu institusi pendidikan berbasis karakter dan nilai-nilai keislaman yang telah berkontribusi besar terhadap pendidikan nasional sejak era Hindia Belanda. Tahun ini, animo masyarakat terhadap sekolah ini sangat tinggi, terbukti dari pendaftaran melalui jalur SPMB Bersama Jakarta. Sayangnya, jatah kursi dari kementerian sangat terbatas: hanya 15 siswa diterima untuk jenjang SMP, 24 untuk SMA, dan 28 untuk SMK. Padahal, jumlah pendaftar yang ingin mengakses pendidikan bermutu sangatlah besar.
Lebih ironis lagi, meski bukan sekolah dengan biaya tinggi, pendaftaran murid baru secara umum di Said Na’um mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab utamanya: kemampuan ekonomi masyarakat sekitar yang makin terpuruk. Banyak keluarga tidak sanggup lagi menyekolahkan anak-anaknya, bahkan ke sekolah swasta yang tergolong “terjangkau.”
Sekolah Rakyat: Realitas Ganda Pendidikan Nasional
Di satu sisi, negara menggelontorkan program besar seperti Sekolah Rakyat dalam program pendidikan nasionaluntuk menjangkau anak-anak miskin ekstrem—bahkan dengan konsep asrama gratis. Di sisi lain, sekolah swasta berbasis nilai dan karakter yang telah teruji puluhan tahun justru berjuang sendiri menghadapi krisis eksistensial.
Ini bukan sekadar anomali. Ini adalah tanda jelas bahwa negara belum melihat sekolah swasta—terutama yang berbasis karakter dan akar budaya lokal—sebagai mitra strategis dalam menyelesaikan problem pendidikan nasional. Padahal, data menunjukkan bahwa masih ada 4,7 juta anak Indonesia yang tidak diterima di sekolah formal tahun ini. Apakah mungkin masalah ini bisa diselesaikan hanya dengan 50-an titik Sekolah Rakyat baru?
Gagasan Solusi: Sinergikan Sekolah Rakyat dan Sekolah Swasta
Alih-alih membiarkan sekolah swasta bertahan hidup sendiri, pemerintah semestinya mengadopsi pendekatan kolaboratif dan partisipatif, misalnya dengan:
Mengintegrasikan sekolah swasta berbasis karakter ke dalam ekosistem Sekolah Rakyat. Berikan insentif atau dana operasional langsung untuk sekolah-sekolah yang terbukti punya rekam jejak kuat dalam pendidikan moral, spiritual, dan sosial.
Membuka skema beasiswa negara khusus untuk anak miskin ekstrem yang memilih sekolah swasta berbasis karakter. Jangan paksa mereka semua tinggal di asrama. Biarkan pilihan terbuka: asrama pemerintah atau sekolah lokal bermutu.
Menugaskan sekolah swasta sebagai penyelenggara Sekolah Rakyat Komunitas. Daripada membangun semua dari nol, pemerintah bisa memanfaatkan fasilitas, tenaga pengajar, dan sistem manajemen yang sudah mapan di sekolah swasta.
Mengajak filantropi, BUMN, dan CSR swasta untuk menjadi sponsor siswa miskin di sekolah swasta berkualitas. Bukan hanya sekadar menyumbang buku, tapi membiayai penuh pendidikan anak-anak tidak mampu di sekolah yang sudah terpercaya.
Penutup: Paradigma Baru Pemberdayaan Pendidikan
Kita harus keluar dari dikotomi palsu: seolah-olah negara hanya bisa membantu rakyat miskin melalui sekolah yang dibangun dan dikelola sendiri. Padahal, dengan pendekatan ekosistem, negara bisa memperluas jangkauan dan kualitas pendidikan jauh lebih cepat, murah, dan berdampak besar—cukup dengan memberdayakan sekolah-sekolah swasta yang sudah eksis dan siap.
Pendidikan nasional tidak akan maju hanya dengan membangun gedung baru atau menyusun kurikulum revolusioner. Ia maju karena ada kolaborasi: antara negara, sekolah, masyarakat, dan lembaga filantropi—dengan satu semangat, yakni memastikan tak satu pun anak Indonesia tertinggal karena miskin.
Sekolah Rakyat adalah awal yang baik. Tapi jika tidak segera disinergikan dengan kekuatan yang sudah ada di tengah masyarakat, maka ia hanya akan jadi proyek populis—bukan solusi sistemik.
Komentar