top of page

Memandang Gen Z dari Jendela Baru: Saatnya Dunia Pendidikan Melakukan Penyesuaian

Diperbarui: 27 Mei


Gen Z anak SMP Islam Said Naum
Gen Z Indonesia

Bayangkan seorang siswa bernama Fathan, kelas 8 SMP. Ia lebih suka belajar lewat video YouTube dibandingkan buku teks. Ia bisa mengedit video pendek untuk tugas sekolah, berani bertanya kenapa belajar harus duduk diam di kelas, dan suatu hari berkata kepada gurunya:


“Saya ingin bikin proyek Sedekah WiFi.”


Gurunya sempat tersenyum bingung. Sedekah WiFi? Memangnya bisa?

Tapi bagi Fathan—seorang anak Gen Z—itu bukan cita-cita absurd. Ia tahu ada banyak anak lain yang kesulitan belajar karena tidak punya kuota atau akses internet.


“Kalau sedekah makanan bikin kenyang, sedekah WiFi bisa bikin pintar,” katanya polos namun dalam.


Di balik ide sederhananya, Fathan melihat sesuatu yang sering kita abaikan: bahwa akses internet hari ini adalah jembatan menuju masa depan. Dan jika sekolah, masjid, atau rumah-rumah bisa berbagi jaringan WiFi untuk mereka yang membutuhkan, bukankah itu bentuk nyata pendidikan yang inklusif dan berkeadilan?


Fathan adalah potret Gen Z—anak-anak zaman sekarang (8–23 tahun) yang tumbuh dalam dunia serba digital dan serba cepat. Lahir di tengah ketidakpastian: krisis ekonomi, pandemi, perubahan iklim, dan ketimpangan sosial. Mereka bukan hanya melek teknologi—mereka hidup dan bernapas di dalamnya. Internet bukan alat bantu, tapi ruang hidup kedua.

Mereka berpikir kritis dan bertanya banyak. Mereka tidak hanya ingin tahu “apa yang harus dipelajari”, tapi juga “mengapa itu penting bagi hidup mereka.”


Di balik keceriaan dan kreativitasnya, mereka kritis tentang makna hidup, dan tentang keadilan. Maka, mereka tak butuh ruang belajar yang penuh tekanan—mereka butuh ruang yang aman, lembut, jujur. Tempat yang tidak sekadar mendidik otak, tapi juga merangkul hati dan jiwa.


Tantangan Sekolah Hari Ini: Mau Dengarkan Gen Z atau Tetap Memaksa?


Sekolah dan dunia pendidikan pada umumnya, menghadapi tantangan besar. Bukan sekadar mengajarkan kurikulum, tapi mengasuh jiwa-jiwa pencari makna. Pertanyaannya:


  • Apakah sekolah siap menjadi rumah tumbuh yang tak hanya disiplin, tapi juga penuh dialog?

  • Apakah guru sudah cukup mendengar, bukan hanya menuntut?

  • Apakah kita sadar bahwa mereka bukan generasi rusak, tapi generasi penjelajah makna?


Dengan visi pendidikan berkarakter Islami, kita punya modal kuat: nilai, spiritualitas, dan tujuan hidup. Tapi kita juga punya pekerjaan rumah: membuka ruang lebih luas agar karakter mereka tumbuh secara utuh—jasmani dan rohani, kreativitas dan spiritualitas.


Karena Gen Z bukan generasi yang ingin “jadi bagian dari sistem.” Mereka ingin mendesain ulang sistem itu sendiri: lebih adil, lebih jujur, lebih manusiawi. Jika sekolah hanya memaksa mereka menyesuaikan diri, maka kita akan kehilangan potensi terbaiknya.


Tahun 2025 disebut sebagai awal “Era Emas Indonesia” menuju 2045. Tapi apakah sekolah sudah siap menyambut mereka sebagai aktor utama? Atau masih terjebak pada cara-cara lama yang membelenggu kreativitas?


Apa yang Harus Kita Ubah?


  • Kurikulum harus melampaui kognitif: proyek nyata, kreativitas, kolaborasi, dan kebermanfaatan sosial harus menjadi inti.

  • Guru perlu berubah dari pengajar menjadi fasilitator dan pembimbing jiwa: mendengar dulu sebelum menilai, menginspirasi sebelum menuntut.

  • Orang tua harus belajar ulang menjadi teman belajar, bukan pengontrol nilai. Anak-anak zaman ini lebih butuh dialog daripada ceramah.

  • Lingkungan masyarakat harus jadi ekosistem sehat: yang memberi ruang aman, apresiasi tulus, dan peluang berkarya.


Penutup: Sekolah yang Beradaptasi Tanpa Kehilangan Arah


Di Sekolah Islam Said Na'um, kami percaya bahwa perubahan zaman bukan ancaman, tapi peluang. Kami—para guru, staf, hingga komitmen kuat dari Yayasan—sangat peduli terhadap karakter Gen Z yang terus tumbuh dan berubah. Kami siap beradaptasi dengan pendekatan belajar yang lebih fleksibel, relevan, dan menyentuh kebutuhan zaman, tanpa kehilangan ruh dan nilai-nilai Islam yang menjadi pondasi utama.


Kami percaya pendidikan masa depan bukan soal siapa yang paling cepat hafal, tapi siapa yang paling peka, peduli, dan punya arah hidup. Dan kami ingin mendampingi anak-anak Anda untuk mencapainya—dengan kasih sayang, bimbingan spiritual, dan kurikulum yang bermakna.


Masih Percaya Sekolah Islam Adalah Jawaban Masa Depan?


Jika Anda adalah orang tua yang percaya bahwa pendidikan karakter Islami harus berjalan seiring dengan kreativitas, teknologi, dan kebermanfaatan sosial— Jangan tunggu lagi. Daftarkan putra-putri Anda ke Sekolah Islam Said Na’um hari ini.

📌 Kuota masih tersedia — tapi terbatas!

🎓 Karena masa depan mereka tak bisa menunggu.




Commenti

Valutazione 0 stelle su 5.
Non ci sono ancora valutazioni

Aggiungi una valutazione

Subscribe to our newsletter • Don’t miss out!

bottom of page